Bentuk instrumen di pasar modal disebut efek yaitu surat
berharga yang berupa :
1. Saham
1. Saham
adalah tanda bukti memiliki perusahaan dimana pemiliknya disebut
juga sebagai pemegang saham (Shareholder atau stockholder). Saham ada 2 macam
yaitu saham preferen (preferred stock) dan saham biasa (common stock). Saham
preferen adalah jenis saham yang memiliki hak terlebih dahulu untuk menerima
laba dan memiliki hak laba kumulaif. Hak kumulatif adalah hak untuk mendapatkan
laba yang tidak dibagikan pada suatu tahun yang mengalami kerugian, tetapi akan
dibayar pada tahun mengalami keuntungan, sehingga saham preferen akan menerima
laba dua kali. Sedangkan saham biasa adalah jenis saham yang akan menerima laba
setelah laba bagian saham preferen dibayarkan. Apabila perusahaan bangkrut,
maka pemegang saham biasa yang akan menderita terlebih dahulu.
2. Obligasi
Obligasi (Bond) adalah tanda bukti perusahaan memiliki utang
jangka panjang kepada masyarakat yaitu diatas 3 tahun. Pihak yang membeli
obligasi disebut pemegang obligasi (bondholder) dan pemegang obligasi akan
menerima kupon sebagai pendapatan dari obligasi yang dibayarkan.
3. Bukti Right
Bukti right adalah hak untuk membeli saham pada harga tertentu
dalam jangka waktu tertentu. Hak memebeli dimiliki oleh pemegeng saham lama.
Harga tertentu berarti harganya sudah ditetapkan di muka dan biasa disebut
harga pelaksanaan atau harga tebusan (strike price atau exercise price).
Apabila pemegang saham lama yang menerima bukti right tidak mampu atau idak
berniat menukarkan bukti right dengan saham, maka bukti right tersebut dapat
dijual di bursa efek melalui broker efek. Apabila pemegang bukti right lalai
menukarkannya dengan saham dan waktu penukaran sudah kadaluwarsa, maka bukti
right tersebut tidak berharga lagi, atau pemegang bukti right akan menderita
rugi.
4. Waran
Waran adalah hak untuk membeli saham pada harga tertentu dalam
jangka waktu tertentu. Waran tidak saja dapat diberikan kepada pemegang saham
lama, tetapi juga sering diberikan kepada pemegang obligasi sebagai pemanis
(sweetener) pada saat perusahaan menrbitkan obligasi. Pemegang waran tidak akan
menderita kerugian apapun seandainya waran itu tidak dilaksanakan. Pada saat
harga pasar melebihi strike price waran, maka waran sudah saatnya untuk ditukar
dengan saham. Namun pemegang saham masih dapat menunggu sampai harga saham
mencapai tingkat tertinggi sepanjang waktu berlakunya belum kadaluwarsa.
Apabila pemegang warantidak ingin menebusnya, maka waran itu dapat dijual di
bursa efek melalui broker. Apabila waktu untuk mendapatkannya sudah kadaluwarsa
dan pemegang waran lalai menebusnya, maka waran tersebut akan menjadi kertas
yang tidak bernilai lagi.
5. Produk turunan atau biasa atau disebut derivative
Contoh produk derivative adalah indeks harga saham dan indeks
kurs obligasi. Indeks saham dan indeks obligasi adalah angka indeks yang
diperdagangkan untuk tujuan spekulasi dan lindungi nilai (hedging). Perdagangan
yang dilakukan tidak memerlukan penyerahan barang secara fisik, melainkan hanya
perhitungan untung rugi dari selisih antara harga beli dan harga jual.
Mekanisme perdagangan produk derivative ini dilakukan
Untuk membedakan antara Reksa Dana
syariah dan Reksa Dana konvensional dapat dilakukan dengan proses manajemen
portofolio, diantaranya adalah:
- Perbedaan pokok tentang Islamic fund dengan conventional fund terdapat
pada screening proses sebagai bagian dari proses alokasi asset. Islamic
fund hanya dibolehkan melakukan penempatan pada saham-saham dan instrumen
lain yang halal. Ini berdampak pada alokasi dan komposisi asset dalam
portofolionya.
- Syariah fund melakukan pula cleansing process yang bermaksud
membersihkan dari pendapatan yang tidak halal. Sesuai dengan uraian yang
telah disebutkan oleh Huda dan Nasution (2008:117-127), maka pada tabel
berikut menunjukkan perbedaan antara Reksa Dana syariah dan Reksa Dana
konvensional:
No.
|
Jenis Reksa Dana Perbedaaan
|
Syariah
|
Konvensional
|
1
|
Tujuan Investasi
|
Tidak semata-mata return, tapi juga
SRI (Socially Responsible Invesment)
|
Return yang tinggi
|
2
|
Operasional
|
Ada proses screening
|
Tanpa
proses screening
|
3
|
Return
|
Proses Cleansing/Filterisasi dari
kegiatan haram
|
Tidak ada
|
4
|
Pengawasan
|
DPS & Bapepam
|
Hanya Bapepam
|
5
|
Akad / Pengikatan
|
Selama tidak bertentangan dengan
syariah
|
Menekankan kesepakatan tanpa ada
aturan halal atau haram
|
6
|
Transaksi
|
Tidak boleh berspekulasi yang
mengandung gharar seperti najsy (penawaran palsu), ikhtikan, masyir, dan riba
|
Selama transaksinya bisa memberikan
keuntungan
|
OBLIGASI SYARIAH
A. Sejarah Sukuk/ Obligasi Syariah
Sesungguhnya,
sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah
Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam
menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk
jamak dari kata sakk yang memiliki arti yang sama dengan sertifikat atau
note. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai dokumen yang
menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan
aktivitas komersial lainnya. Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang
memiliki concern terhadap
sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah
yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, yang saat ini telah menjadi
sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer.
Dalam
perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung
berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA –
Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka
waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia
pada tahun yang sama meluncurkan Global
Corporate Sukuk di pasar keuangan Islam
internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar
internasional.
Selanjutnya,
penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim
hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal
tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk
dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat,
bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan
menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung
terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.
Harus
kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk
terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah
istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk
produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah
kontemporer.
B. Pengertian
Obligasi
adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari
penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali
pokok utang beserta kupon
bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo
pembayaran.
Ketentuan
lain dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya identitas
pemegang obligasi, pembatasan-pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan
oleh penerbit. Obligasi pada umumnya diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap
diatas 10 tahun. Misalnya saja pada Obligasi
pemerintah Amerika yang disebut “U.S. Treasury securities”diterbitkan untuk masa jatuh tempo 10 tahun atau
lebih. Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun disebut “surat utang” dan
utang dibawah 1 tahun disebut “Surat Perbendaharaan. Di Indonesia, Surat utang
berjangka waktu 1 hingga 10 tahun yang diterbitkan oleh pemerintah yang disebut
dengan Surat
Utang Negara (SUN) dan utang dibawah 1 tahun yang
diterbitkan pemerintah disebut Surat Perbendaharan Negara (SPN)
Obligasi
syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak ada konvergensi pendapat
bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga
(interest-bearing instruments) ini keluar dari daftar investasi halal. Karena
itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah. Sebenarnya
obligasi yang tidak dibenarkan itu adalah obligasi yang bersifat utang dengan
kewajiban membayar bunga (sistem riba).
Di
dalam Islam, istilah obligasi lebih dikenal dengan istilah sukuk. Merujuk
kepada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, “Obligasi Syariah
adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang
dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang mewajibkan Emiten
untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi
hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”.
Untuk
menerbitkan obligasi syariah, beberapa persyaratan harus dipenuhi, yakni
aktivitas utama (core business) yang halal, dan tidak bertentangan dengan substansi
fatwa DSN.
C. Ketentuan Obligasi Syariah
Ketentuan
Umum:
· Obligasi
yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat hutang
dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga;
· Obligasi
yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip
syariah
· Obligasi
Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah
yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten
untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi
hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Ketentuan
Khusus
· Akad
yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:
1. Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh
2. Musyarakah
3. Murabahah
4. Salam
5. Istishna
6. Ijarah
· Jenis
usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah
dengan memper-hatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang
Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
· Pendapatan
(hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah
Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
· Pendapatan
(hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;
· Pemindahan
kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
D. Skema Bagi Hasil
Obligasi
Konvensional
Pendapatan
atau imbal hasil atau return yang
akan diperoleh dari investasi obligasi dinyatakan sebagai yield, yaitu
hasil yang akan diperoleh investor apabila menempatkan dananya untuk dibelikan
obligasi. Sebelum memutuskan untuk berinvestasi obligasi, investor harus
mempertimbangkan besarnya yield obligasi, sebagai faktor pengukur tingkat
pengembalian tahunan yang akan diterima.
Ada 2
(dua) istilah dalam penentuan yield yaitu current
yield dan yield
to maturity.
· Currrent
yield adalah yield yang
dihitung berdasarkan jumlah kupon yang diterima selama satu tahun terhadap
harga obligasi tersebut.
Current
yield = bunga tahunan
harga
obligasi
Contoh:
Jika
obligasi PT XYZ memberikan kupon kepada pemegangnya sebesar 17% per tahun sedangkan
harga obligasi tersebut adalah 98% untuk nilai nominal Rp 1.000.000.000,
maka:
Current
Yield = Rp
170.000.000 atau 17%
Rp
980.000.000 98%
=
17.34%
Sementara
itu yiled to maturity (YTM) adalah tingkat pengembalian atau pendapatan yang
akan diperoleh investor apabila memiliki obligasi sampai jatuh tempo.
Formula YTM yang
seringkali digunakan oleh para pelaku adalah YTM approximation atau
pendekatan nilaiYTM,
sebagai berikut:
YTM
approximation = C + P – R
n x 100%
P + R
2
Keterangan:
C =
kupon
n =
periode waktu yang tersisa (tahun)
R =
redemption value
P =
harga pembelian (purchase value)
Contoh:
Obligasi XYZ
dibeli pada 5 September 2003 dengan harga 94.25% memiliki kupon sebesar 16%
dibayar setiap 3 bulan sekali dan jatuh tempo pada 12 juli 2007. Berapakah
besar YTM approximationnya ?
C = 16%
n = 3
tahun 10 bulan 7 hari = 3.853 tahun
R =
94.25%
P =
100%
YTM
approximation = 16 + 100 – 94.25
3.853
= 100 + 94.25
2
= 18.01
%
Obligasi
Syariah
Melalui
fatwanya, DSN sebenarnya mengkategorikan tiga jenis pemberian keuntungan kepada
investor pemegang Obligasi Syariah. Yaitu, pertama adalah
berupa bagi hasil kepada pemegang Obligasi Mudharabah atau Musyarakah. Kedua,
keuntungan berupa margin bagi pemegang Obligasi Murabahah, Salam atau Istishna.
Dan ketiga,
berupa fee (sewa) dari aset yang disewakan untuk pemegang Obligasi dengan akad
Ijarah. Pada prinsipnya, semua Obligasi Syariah adalah surat berharga bukti
investasi jangka panjang yang berdasarakan prinsip syariah Islam. Namun yang
membedakan adalah akad dan transaksinya.
Adapun
transaksi sukuk yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Obligasi Mudharabah
Dimana
obligasi mudharabah memakai akad bagi hasil pada saat pendapatan emiten telah
di ketahui dengan jelas. Penerapan mudharabah dalam obligasi cukup sederhana.
Emiten bertindak selaku mudharib (pegelola dana) dan investor bertindak selaku
shahibul mal, alias pemilik modal. Keuntungan yang diperoleh investor
merupakan bagian proporsional keuntungan dari pengelolaan dana oleh investor.
Menyikapi adanya indikasi bahwa terdapat kontradiksi antara mudharabah dan
obligasi dalam definisi, serta masih adanya anggapan bahwa obligasi syariah
mudharabah sejatinya tetaplah sebagai surat hutang, lebih lanjut, Hakim mengatakan
bahwa transaksi mudharabah dalam konteks obligasi syariah mudaharabah ini
adalah transaksi investment, bukan hutang piutang. Karena investment merupakan
milik pemilik modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip inilah
yang mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.
Contoh:
Sebagai
contoh Berlian Laju Tanker telah menerbitkan Obligasi Mudharabah senilai Rp 100
miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan
modal kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatakan
di BES ini memperoleh keuntungan dari bagi hasil berdasarkan pendapatan
perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini atau kapal lain yang
beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah setiap tahun
sesuai pendapatan.
2. Obligasi Ijarah
Dimana
obligasi ijarah memakai akad sewa menyewa sehingga kupon (fee ijarah) bersifat
tetap, dan bisa diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan
Contoh:
Penerapan
akad Ijarah secara praktis dapat kita lihat pada Matahari Departemen Store.
Perusahaan ritel ini mengeluarkan Obligasi Ijarah senilai Rp 100 miliar.
Dananya digunakan untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah, dimana
Matahari bertindak sebagai wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha
dari pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa adalah
Cilandak Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari
sesuai dengan akad wakalah, dimana atas manfaat tersebut Matahari melakukan
pembayaran sewa (fee ijarah) dan dana obligasi. Fee ijarah dibayarkan setiap
tiga bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi.
Jangka waktu obligasi tersebut selama lima tahun.
E. Harga Obligasi
Konvensional
Berbeda
dengan harga saham yang dinyatakan dalam bentuk mata uang, harga obligasi
dinyatakan dalam persentase (%), yaitu persentase dari nilai nominal.
Ada 3
(tiga) kemungkinan harga pasar dari obligasi yang ditawarkan, yaitu:
· Par
(nilai Pari) : Harga Obligasi sama dengan nilai nominal Misal: Obligasi dengan
nilai nominal Rp 50 juta dijual pada harga 100%, maka nilai obligasi tersebut
adalah 100% x Rp 50 juta = Rp 50 juta.
· at
premium (dengan Premi) : Harga Obligasi lebih besar dari nilai nominal Misal:
Obligasi dengan nilai nominal RP 50 juta dijual dengan harga 102%, maka nilai
obligasi adalah 102% x Rp 50 juta = Rp 51 juta
· at
discount (dengan Discount) : Harga Obligasi lebih kecil dari nilai nominal
Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50 juta dijual dengan harga 98%, maka
nilai dari obligasi adalah 98% x Rp 50 juta = Rp 49 juta.
Namun
yang terpenting adalah, instrument bunga (interest instruments) sangat
mempengaruhi permintaan obligasi. Semakin tinggi tingkat suku bunga, semakin
sedikit orang (calon investor) membeli obligasi, tetapi semakin rendah suku
bunga, maka semakin banyak orang (calon investor) yang akan berinvestasi dengan
membeli obligasi.
Syariah
Obligasi
syariah atau mudharabah bond ini dijual pada harga nominal pelunasan jatuh
temponya (at maturity par value) di pasar perdana. Landasan syariah dari
obligasi ini antara lain berdasarkan hadist Mudharabah yang diriwayatkan oleh
Suhaib Ar Rumi (H.R. Ibnu Majah). Pada prinsipnya mudharib memiliki kewajiban
finansial kepada shahibul maal, untuk mengembalikan pokok penyertaan ditambah
bagi hasil dari keuntungan. Peluang mendapatkan bagi hasil inilah, oleh
shahibul maal bisa dialihkan ke pihak lain melalui mekanisme al Hawalah
(pengalihan piutang dengan tanggungan bagi hasil).
Mekanisme
al Hawalah ini bisa menjadi dasar transaksi mudharabah bond di pasar sekunder.
Landasan syariahnya antara lain H.R. Imam Bukhari dan Muslim: Dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Menunda
pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang
dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu / kaya, maka
terimalah hawalah itu.” Dalam kaitan ini
mayoritas ulama sepakat membolehkan al Hawalah pada satu bentuk kewajiban
finansial. Atas dasar landasan syariah al Hawalah, maka di pasar modal syariah
tidak ada transaksi yang bisa dikategorikan jual beli murni setelah
perdananya. Karena sebagian besar ulama telah mengharamkan Bai’ Al Dayn
(the sale of payable right raises from transaction), yang berarti melarang
untuk diperjualbelikan utang piutang secara tangguh. Yang bisa dilakukan oleh
pemegang obligasi syariah (Shariah bonds holders) adalah meng-hawalah-kan
syariah bonds-nya untuk mendapatkan dana segar sebesar maturity par value-nya,
dengan melakukan perjanjian revenue sharing atas initial revenue sharing yang
diperoleh dari penerbit syariah bonds.
Dengan
demikian syariah bonds sebaiknya dikeluarkan atas nama, bukan atas unjuk.
Pendekatan lain yang kini tengah dibahas oleh para ahli fiqih dan ahli keuangan
syariah adalah membeli utang secara tunai (karena yang dilarang adalah membeli
utang secara tangguh). Salah satu di antara skema yang tengah dikembangkan
adalah lembaga keuangan tertentu menjual metal kepada bond holders dengan
mempergunakan obligasi syariah itu sebagai proceednya. Harga yang disepakati
sesuai dengan harga nominal (par value obligasi tersebut). Dalam transaksi ini
tidak terjadi diskon atau mark down dari nilai obligasi karena hal ini bisa
menjadi pintu belakan bagi riba nasi’ah. Lembaga keuangan mendapat keuntungan
dari selisih harga beli dan harga jual metal tersebut